![]() |
source : smh.com.au |
Sesuatu yang mahal biasanya berkualitas dan mutu terjamin. Namun tidak untuk kenyataan yang satu ini. Saat ini marak dibicarakan di media elektronik terkait kasus kekerasan seksual terhadap muridnya.
Jakarta International School ( JIS ) sebuah sekolah bertaraf Internasional yang didirikan pada tahun 1951 awalnya hanya untuk anak-anak ekspatriat yang bertugas di Jakarta. Sekolah yang memiliki 2400 siswa dari usia 3-18 tahun yang terdiri dari 60 negara ini berlokasi di Jalan terogong raya, Cilandak, Jakarta Selatan.
Ketika anda lewat dan meilhat sepintas, sekolah ini layaknya sebuah benteng yang dilengkapi penjagaan yang ketat. Tidak sembarang orang bisa masuk dengan mudah kesekolah ini. Namun mengapa justru kasus kekerasan seksual bisa terjadi di lingkungan sekolah ini. Bukankah semua yang dipekerjakan oleh sekolah tersebut adalah orang-orang yang berkualitas dan sudah terstandarisasi.
Ternyata intervensi yang terjadi di lingkungan Jakarta Internasional School ( JIS ) bukan yang berasal dari pihak ekstern sekolah, melainkan dari pihak intern sekolah. Pihak sekolah menyatakan bahwa yang melakukan tindakan asusila bukan dari karyawan JIS, melainkan dari pihak PT. ISS selaku penyedia karyawan kebersihan. Timothy Carr kepala sekolah JIS menyatakan bahwa pihak yang harus bertanggung jawab adalah PT. ISS. Perusahaan tersebut yang melakukan recruit para karyawan kebersihan.
Sebagai sebuah sekolah yang berkualitas dan bukan sekolah murahan, apapun alasannya pihak sekolah tetap sebagai penanggungjawab penuh. Terkait dengan adanya pihak-pihak lain yang diajak kerjasama itu bukan urusan pihak lain. Yang jelas pihak JIS tentu harus melakukan Self Indentification kepada seluruh pegawai yang ada di instansinya. Tidak bisa dilepas saja, mengingat sekolah ini bukan sekolah murahan.
Kasus yang terjadi di Jakarta Internasional School ini menjadi sebuah kasus yang tak perlu terjadi berulang-ulang kali. Mengingat yang menjadi korban adalah anak usia dini. Pendidikan itu banyak macamnya, ada pendidikan intelektual, pendidikan emosional, pendidikan spiritual, dan pendidikan karakter. Semua ini harus mutlak ada bagi semua sekolah yang ada di Indonesia ini. Anak-anak seharusnya dididik dengan baik, sehingga akan menghasilkan generasi yang baik bagi Indonesia kedepan. Kalau begini terjadi bagaimana nasib bangsa kita kelak. Kemendikbud selaku pihak yang harus menjaga perjalanan pendidikan Indonesia sangat kecolongan dengan terjadinya hal ini. Teguran keras seakan alert bagi kemendikbud untuk terus mengevaluasi setiap kriteria pendidikan dan menjamin kualitas pendidikan bagi seluruh anak bangsa.
Mengingat pembukaan UUD 1945 tersurat kalimat " Mencerdaskan kehidupan bangsa " ini menjadi pembelajaran bagi pemerintah untuk lebih memperketat dan melakukan evaluasi terhadap setiap sekolah di Indonesia.
![]() |
source : merdeka.com |
Dibandingkan dengan pendidikan yang ada di desa (terlihat di gambar) guru tulus secara batin mengajar dan mengabdi memberi pengajaran yang akan berarti dikemudian hari bagi muridnya. Mungkin tanpa mengarapkan imbalan apapun. Pemerintah kurang memperhatikan hal yang seperti ini. Terlihat sepele, namun bukankah itu adalah pendidikan yang sebenarnya? Pendidikan yang mengajar kemampuan intelektual, kemampuan spritual, kemampuan emosional dan membentuk karakter. Sekolah tanpa biaya dan tanpa kelas sosial, namun dapat bersaing tanpa ada isu kekerasan seksual yang begitu tabu didengar. Tugas berat pemerintah untuk menimbang dan mempertimbangkan hal tersebut. Jangan sampai yang berkualitas justru diabaikan tanpa fasilitas, sedangkan yang tidak berkualitas tetap dipelihara tanpa ada pengawasan ketat.
Refensi : Wikipedia.org
by : Radian Nugraha Ginting