Thursday, September 4, 2014

Sanksi Hukum Yang Tepat Bagi Koruptor



Korupsi adalah sebuah wabah yang dapat menular. Wabah inilah yang menjadi permasalahan di beberapa negara, khususnya negara-negara berkembang. Terjadinya kasus korupsi diakibatkan adanya permasalahan dalam lini birokrasi dan tidak berperannya lembaga pengawasan secara efektif. Di Indonesia khususnya, kasus korupsi ini sudah sangat marak terjadi. Mulai dari birokrasi terkecil hingga birokrasi pemerintahan. Beberapa menteri, kepala daerah dsb yang sudah kedapatan tangan mempermainkan uang negara. Ada beberapa bentuk modus yang dipergunakan, seperti gratifikasi, pencucian uang, dsb. Para pelaku korupsi seharusnya ditindak secara hukum seberat-beratnya. Dengan itulah maka di zaman kepresidenan Ibu Megawati didirikanlah sebuah lembaga antikorupsi sebagai bentuk keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi. Lembaga yang dibentuk tersebut adalah KPK ( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Dengan adanya KPK, setiap tindakan korupsi dapat dipidanakan sebagaimana hukum sudah menetapkan seperti itu.
Namun kini yang menjadi persoalan ialah, hukuman yang diberikan kepada orang yang berstatus Tahanan KPK tersebut masih begitu lemah. Sehingga jauh dari tujuan mengefekjerakan pelaku. Kembali lagi, di masa ini bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi perlu dipertanyakan. Bersama kita ketahui bahwa bulan agustus lalu ada tahanan korupsi yang mendapatkan potongan masa hukuman dari kemenkumham. Ini menjadi sebuah indikasi bahwa pemerintah belum serius memberantas korupsi. KPK sejauh ini sudah menjalankan tugas dengan baik, sudah berani menelisik dan masuk ke birokrasi untuk menjegal para pelaku korupsi. Namun ketika sampai di pengadilan, semua seakan sirna dengan putusan hakim yang begitu ringan.
Kasus yang kini menjadi pembicaraan di beberapa media adalah ringannya hukuman bagi Ratu Atut. Dengan hukuman putusan hakim yang menyatakan bahwa Atut dihukum 4 (empat) tahun adalah bentuk ketidakadilan atas apa yang sudah diperbuatnya. Jika kita bicara tentang efek jera tentu tidak sampai kepada tujuannya. Jika hanya 4 tahun, itu adalah hukuman yang sangat ringan, dan memancing pejabat-pejabat lain untuk melakukan korupsi. Seharusnya hukum perlu berkaca kepada efek jera, jika memang harus direvisi yang silahkan direvisi. Ini menyangkut rakyat, semua yang dimakan adalah uang rakyat. Dan apa yang mereka curi memperhambat perkembangan bangsa Indonesia. Maka dari itu mental pejabat itu perlu ditakut-takuti dengan hukuman yang menyangkut nyawa. Coba kita pikirkan, bahwa uang yang dikorupsikan mencapai 4 (empat) triliun misalnya. Sedangkan denda yang di layangkan oleh hakim hanya sekitar 4 (empat) milyar, ya tentu mereka bisa membayarnya sehingga terbebas dari dinginnya jeruji besi. Ini yang harus dipikirkan kedepan, jika hukuman yang diberikan kepada koruptor masih seperti saat ini, saya berani menjamin bahwa masih akan ada waiting list corruptor yang akan segera ditindak.
Lantas solusinya adalah beri hukuman yang seberat-beratnya. Bukan pemiskinan, karena bisa saja hartanya dipindahtangankan, atau disembunyikan entah dimana. Tapi Hukuman mati merupakan satu-satunya opsi yang paling bisa menjerakan. Mana ada orang yang mau mati karena korupsi. Pasti mereka akan berfikir dua kali dalam memutuskan itu. Pemisikinan sudah terbukti gagal dan tidak sukses dijalankan. Hukuman mati sangat merekomendasikan. Permasalahan sekarang adalah DPR, lembaga pembuat undang-undang yang juga kebanyakan sarang koruptor apakah bersedia membuat perundang-undangan yang sedemikian rupa. Karena mungkin akan jadi senjata makan tuan di hari-hari selanjutnya. Peraturan presiden mungkin bisa dibuat, dengan segala prosedur dan pertimbangan. Untuk melawan korupsi harus dengan hukuman yang keji. Kita tidak usah bicara tentang HAM dalam penegakan keadailan. Ini permasalahan uang rakyat, jadi sah-sah saja apabila diberlakukan hukuman mati dengan cara yang keji bagi para pelaku korupsi. Saya akan sebutkan diantaranya negara-negara yang sudah memberlakukan hukuman mati bagi tersangka korupsi.
1.      Cina sudah memberlakukan hukuman tembak mati bagi pelaku korupsi. Pemerintah Cina akan segera mengeksekusi mati bagi pelaku korupsi apabila terbukti melakukan pelanggaran. Ini jelas adalah bentuk keseriusan negeri Cina dalam menegakkan keadilan dan hukuman yang seberat-beratnya. Terbukti pelaku koruptor di Cina turun drastis.
2.      Di Amerika diberlakukan hukuman mati bagi pelaku korupsi dengan 100 tembakan. Amerika yang dikenal dengan penegakan hak asasi manusianya seakan tidak perduli akan hal itu demi menekan angka pertumbuhan korupsi di Amerika.
3.      Pemerintah Arab Saudi akan memenggal pelaku korupsi. Jika pencuri dipotong tangannya, tetapi untuk pelaku korupsi dipenggal lehernya.
4.      Pemerintah Malaysia menggantung pelaku korupsi, mengakibatkan angka korupsi di Malaysia semakin menurun.

Fakta tersebut yang tentunya dapat menjadi dasar pemerintahan kedepan untuk membuat peraturan yang memberatkan serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sehingga dengan diberlakukannya hukuman mati bagi para pelaku korupsi, tentu pelakunya akan terus menurun, dibanding dengan sistem hukum yang sama seperti saat ini. Masih begitu lemah pemberian hukuman bagi tersangka korupsi yang sudah memakan uang rakyat yang begitu besar jumlahnya. Seberapapun ia mencuri uang rakyat, yang namanya pencuri tetaplah harus ditindak. Untuk membangun mentalitas, hukuman mati adalah salah satu caranya.

Mekanisme Pembuatan Undang-Undang
            DPR merupakan lembaga legislatif pembuat undang-undang. Tentu seluruh mekanisme pembuatan undang-undang harus diparipurnakan di DPR. Tetapi tidak semua peraturan harus melalui DPR. Presiden punya hak priorigatif di dalam membuat suatu peraturan atau yang sering disebut Perpres ( Peraturan Presiden ). Untuk mengajukannya ke DPR, untuk urusan perundang-undangan yang menyangkut pada hukuman mati bagi koruptor tentu sangat sulit untuk menemukan sebuah kesatuan suara. Sudah dapat dipastikan akan terjadi banyak pro dan kontra antar setiap fraksi di DPR. Sehingga perundang-undangan yang sedemikian berat dampaknya sangat pragmatis di DPR. Boleh dikatakan akan menjadi sebuah keputusan yang amat sangat lambat dan alot pembicaraannya. Maka Perpres ( Peraturan Presiden ) bisa menjadi pilihan untuk dapat mewujudkan aturan yang sedemikian rupa. Tidak akan ada pihak yang bisa mencampuri Perpres ( Peraturan Presiden ) yang sudah dikeluarkan presiden. Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla kedepan dituntut untuk lebih berani dalam pemberantasan korupsi. Tidak ada cara lain untuk menjegal korupsi selain daripada membuat sistem dalam bentuk peraturan perundang-undangan. UU merupakan sebuah sistem dimana didalamnya terdapat aturan yang harus dipatuhi. Dengan adanya peraturan yang menjerat dengan ancaman yang sangat berat, tentu pemberantasan korupsi akan dengan otomatis mengurang dengan adanya sistem yang sudah didirikan. Permasalahan di Indonesia saat ini adalah belum tegaknya sistem yang baik dalam penanganan kasus korupsi yang ada di Indonesia. Presiden yang berani menegakkan sistem, tentu pemerintahannya akan selalu sukses dalam pemberantasan korupsi. Pemerintahan ibu Megawati sudah mendedikasikan diri dalam keseriusan memberantas kasus korupsi dengan menciptakan suatu lembaga yang spesial dalam menangani kasus korupsi. Demikian juga dengan presiden yang berikutnya, cara-cara baru tetap dinantikan rakyat. Yang baik bisa menjadi acuan, namun yang buruk silahkan direvisi sehingga tercipta sistem yang baik tersebut. Dan apabila pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla mampu membuat peraturan yang berisi hukuman mati bagi tersangka korupsi, itu merupakan prestasi yang sangat luar biasa dan akan menjadi sebuah catatan sejarah kebanggaan atas keseriusan dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia.

Apakah Melanggar Hak Asasi Manusia?
            Hukum yang sudah diciptakan di Indonesia saat ini sudah ada yang memberi sanksi ‘hukuman mati’ bagi tersangkanya. Yakni hukuman bagi pelaku terorisme. Sudah beberapa orang yang dihukum mati oleh Pemerintah Indonesia. Jadi, perbincangan tentang pelanggaran hak asasi manusia bukan merupakan sesuatu yang relevan dan terhubung. Tidak ada sangkut-paut yang bisa dibuat antara hukuman mati dengan hak asasi manusia, sebab didasarkan atas kesalahan pelaku tersebut. Bukan menjadi suatu yang tabu lagi bagi Indonesia mendengar kata Hukuman Mati tersebut. Tidak mengejutkan dan bukan suatu yang mengherankan dan menyeramkan, justru sebuah kewajaran. Siapa yang bersalah, apapun hukumannya harus siap menghadapinya. Sebab, semua hukum adalah pranata, sebagai acuan dan pedoman, sebagai pengawas dan bahan pertimbangan. Dan yang tidak kalah penting adalah untuk menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sehingga tidak ada tindakan pengulangan atas kesalahan yang sudah ia lakukan.

Mohon maaf apabila banyak kesalahan
by : Radian Nugraha Ginting
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNJ 

No comments :

Post a Comment