Belakangan ini banyak yang membicarakan besarnya utang indonesia yang
mencapai Rp.4.636,555 triliun atau 347,3 miliar dollar AS dalam kurs Rp.13.350
per dollar AS (Harian online Kompas 16 Januari 2018). Utang yang sedemikian
besar ini dianggap sebagian masyarakat sebagai sebuah kegagalan pemerintah
mengoptimalkan sumber daya. Isu ini pun semakin berkembang ketika Menteri
Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendapatkan penghargaan sebagai Menteri Terbaik
Dunia/Best Minister in The World
dalam forum World Government Summit di
Dubai, Uni Emirat Arab. Banyak yang tidak menyangka mengapa penghargaan
tersebut diberikan kepada seorang Menteri Keuangan RI di tengah menggunungnya
hutang pemerintah. Dalam artikel singkat ini saya akan memaparkan apa yang saya
ketahui tentang isu ini.
Negara dalam sudut pandang ilmu ekonomi memiliki kesamaan dengan sebuah
perusahaan. Dimana sebuah perusahaan harus mengelola aset yang ia miliki untuk
menghasilkan pendapatan demi kesejahteraan dan kemakmurannya. Hal yang sama
berlaku bagi sebuah negara. Sesuatu yang lumrah pula apabila sebuah perusahaan
berhutang kepada pihak lain untuk dapat lebih mengembangkan kegiatan usahanya.
Hal yang sama juga berlaku bagi sebuah negara. Terdapat dua motif berutang.
Yang pertama utang konsumtif. Yaitu utang yang digunakan untuk tujuan konsumsi
atau memenuhi kebutuhan. Yang kedua utang produktif. Yaitu utang yang digunakan
untuk tujuan produksi/menciptakan keuntungan. Intinya berhutang tidak ada
masalahnya apabila manfaat secara ekonomi masih dapat dimaksimalkan.
Menurut saya utang Indonesia masih dalam kategori wajar. Rasio utang
Indonesia terhadap PDB menurut Sri Mulyani dalam harian online Antara News
berkisar 29,2%. Mengapa masih dalam kategori wajar? Apabila dibandingkan dengan
negara-negara lain di Asia dan dunia rasio utang Indonesia masih masuk ke dalam
kategori yang rendah. Jepang salah satu negara maju mempunyai rasio utang lebih
dari 200% dari PDBnya. Singapura negara tetangga di kawasan ASEAN memiliki
rasio utang lebih dari 100%. Oleh sebab itu rasio utang yang besar tidak dapat
menjadi indikator kegagalan bagi suatu negara di dalam mengelola ekonominya.
Apalagi Indonesia memiliki tingkat rasio yang jauh lebih rendah dibandingkan
negara tersebut.
Logika pikir saya sederhana. Memiliki utang bukanlah sebuah dosa besar bagi
sebuah negara. Karena utang sama sekali tidak memiliki citra negatif semasih
hutang tersebut dapat dilunasi sesuai dengan jatuh tempo dan lancar dalam hal
pembayarannya. Hal ini sama saja dengan kehidupan masyarakat sehari-hari.
Sebagai contoh, pelaku usaha berhutang untuk kemajuan usaha yang didirikannya.
Secara langsung usaha tersebut akan berkembang dan menghasilkan keuntungan
sehingga utang tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Begitupun sebuah
negara. Memiliki utang tidak menjadi masalah selagi utang tersebut dipergunakan
dalam bidang-bidang yang menguntungkan dan tentunya menyejahterakan rakyat.
Lalu, apakah rasio hutang yang hampir mencapai 30% itu tidak beresiko bagi
Indonesia?
Utang tentu memiliki resiko. Namun, besaran resiko tentu sesuai dengan
besaran utangnya. Resiko utang 10 juta tentu berbeda dengan resiko utang 1
juta. Seperti yang sudah saya paparkan diatas rasio hutang Indonesia masih
tergolong sangat rendah. Tentu resiko hutangnya pun rendah. Rasio utang Indonesia
29,2% itu berarti apabila PDB Indonesia Rp.10.000.000 maka utangnya hanya
Rp.2.920.000. Dapat dibayangkan dengan akal sehat maka jumlah tersebut masih
dalam kategori wajar dan aman.
Apakah dengan rasio hutang hampir 30% tidak mengubah iklim investasi
menjadi buruk?
Tentu saja tidak. Secara sederhana dapat digambarkan seperti seseorang yang
hendak berutang dalam membeli rumah dan sebagainya. Apabila pembayaran
dilakukan secara lancar dan tidak ada tunggakan yang terjadi tentu pihak
pemberi utang akan percaya. Inilah yang disebut dengan trust. Bahkan dengan kepercayaan tersebut pemberi utang masih
menawarkan pinjaman yang lebih besar dari sebelumnya apabila dirasa masih
sesuai dengan kemampuannya. Begitupun dengan Indonesia, seberapa besar pun
utang Indonesia tentu tidak menjadi masalah apabila utang tersebut masih dapat
ditangani dengan baik. Tentu ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investor
yang menganggap bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang dapat dipercaya
sebagai tempat investasi. Dengan demikian rasio hutang tidak ada hubungannya
dengan iklim investasi di suatu negara. Dengan syarat utang tersebut masih
dapat dipertanggungjawabkan dan diatasi dengan baik.
Di akhir artikel ini saya ingin menekankan bahwa utang yang besar bukan
menjadi indikator kegagalan ekonomi suatu negara. Selagi utang tersebut dapat
dimanfaat semaksimal mungkin secara ekonomi maka tidak ada yang perlu
diperdebatkan. Tentu jika hal ini terjadi, pertumbuhan ekonomi akan terus
meningkat.
No comments :
Post a Comment