Tuesday, March 6, 2018

Salahkah Sebuah Negara Berutang?


Belakangan ini banyak yang membicarakan besarnya utang indonesia yang mencapai Rp.4.636,555 triliun atau 347,3 miliar dollar AS dalam kurs Rp.13.350 per dollar AS (Harian online Kompas 16 Januari 2018). Utang yang sedemikian besar ini dianggap sebagian masyarakat sebagai sebuah kegagalan pemerintah mengoptimalkan sumber daya. Isu ini pun semakin berkembang ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendapatkan penghargaan sebagai Menteri Terbaik Dunia/Best Minister in The World dalam forum World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab. Banyak yang tidak menyangka mengapa penghargaan tersebut diberikan kepada seorang Menteri Keuangan RI di tengah menggunungnya hutang pemerintah. Dalam artikel singkat ini saya akan memaparkan apa yang saya ketahui tentang isu ini.

Negara dalam sudut pandang ilmu ekonomi memiliki kesamaan dengan sebuah perusahaan. Dimana sebuah perusahaan harus mengelola aset yang ia miliki untuk menghasilkan pendapatan demi kesejahteraan dan kemakmurannya. Hal yang sama berlaku bagi sebuah negara. Sesuatu yang lumrah pula apabila sebuah perusahaan berhutang kepada pihak lain untuk dapat lebih mengembangkan kegiatan usahanya. Hal yang sama juga berlaku bagi sebuah negara. Terdapat dua motif berutang. Yang pertama utang konsumtif. Yaitu utang yang digunakan untuk tujuan konsumsi atau memenuhi kebutuhan. Yang kedua utang produktif. Yaitu utang yang digunakan untuk tujuan produksi/menciptakan keuntungan. Intinya berhutang tidak ada masalahnya apabila manfaat secara ekonomi masih dapat dimaksimalkan.

Menurut saya utang Indonesia masih dalam kategori wajar. Rasio utang Indonesia terhadap PDB menurut Sri Mulyani dalam harian online Antara News berkisar 29,2%. Mengapa masih dalam kategori wajar? Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia dan dunia rasio utang Indonesia masih masuk ke dalam kategori yang rendah. Jepang salah satu negara maju mempunyai rasio utang lebih dari 200% dari PDBnya. Singapura negara tetangga di kawasan ASEAN memiliki rasio utang lebih dari 100%. Oleh sebab itu rasio utang yang besar tidak dapat menjadi indikator kegagalan bagi suatu negara di dalam mengelola ekonominya. Apalagi Indonesia memiliki tingkat rasio yang jauh lebih rendah dibandingkan negara tersebut.

Logika pikir saya sederhana. Memiliki utang bukanlah sebuah dosa besar bagi sebuah negara. Karena utang sama sekali tidak memiliki citra negatif semasih hutang tersebut dapat dilunasi sesuai dengan jatuh tempo dan lancar dalam hal pembayarannya. Hal ini sama saja dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, pelaku usaha berhutang untuk kemajuan usaha yang didirikannya. Secara langsung usaha tersebut akan berkembang dan menghasilkan keuntungan sehingga utang tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Begitupun sebuah negara. Memiliki utang tidak menjadi masalah selagi utang tersebut dipergunakan dalam bidang-bidang yang menguntungkan dan tentunya menyejahterakan rakyat.

Lalu, apakah rasio hutang yang hampir mencapai 30% itu tidak beresiko bagi Indonesia?
Utang tentu memiliki resiko. Namun, besaran resiko tentu sesuai dengan besaran utangnya. Resiko utang 10 juta tentu berbeda dengan resiko utang 1 juta. Seperti yang sudah saya paparkan diatas rasio hutang Indonesia masih tergolong sangat rendah. Tentu resiko hutangnya pun rendah. Rasio utang Indonesia 29,2% itu berarti apabila PDB Indonesia Rp.10.000.000 maka utangnya hanya Rp.2.920.000. Dapat dibayangkan dengan akal sehat maka jumlah tersebut masih dalam kategori wajar dan aman.

Apakah dengan rasio hutang hampir 30% tidak mengubah iklim investasi menjadi buruk?
Tentu saja tidak. Secara sederhana dapat digambarkan seperti seseorang yang hendak berutang dalam membeli rumah dan sebagainya. Apabila pembayaran dilakukan secara lancar dan tidak ada tunggakan yang terjadi tentu pihak pemberi utang akan percaya. Inilah yang disebut dengan trust. Bahkan dengan kepercayaan tersebut pemberi utang masih menawarkan pinjaman yang lebih besar dari sebelumnya apabila dirasa masih sesuai dengan kemampuannya. Begitupun dengan Indonesia, seberapa besar pun utang Indonesia tentu tidak menjadi masalah apabila utang tersebut masih dapat ditangani dengan baik. Tentu ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investor yang menganggap bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang dapat dipercaya sebagai tempat investasi. Dengan demikian rasio hutang tidak ada hubungannya dengan iklim investasi di suatu negara. Dengan syarat utang tersebut masih dapat dipertanggungjawabkan dan diatasi dengan baik.

Di akhir artikel ini saya ingin menekankan bahwa utang yang besar bukan menjadi indikator kegagalan ekonomi suatu negara. Selagi utang tersebut dapat dimanfaat semaksimal mungkin secara ekonomi maka tidak ada yang perlu diperdebatkan. Tentu jika hal ini terjadi, pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat.

No comments :

Post a Comment