Korupsi adalah sebuah
wabah yang dapat menular. Wabah inilah yang menjadi permasalahan di beberapa
negara, khususnya negara-negara berkembang. Terjadinya kasus korupsi
diakibatkan adanya permasalahan dalam lini birokrasi dan tidak berperannya
lembaga pengawasan secara efektif. Di Indonesia khususnya, kasus korupsi ini
sudah sangat marak terjadi. Mulai dari birokrasi terkecil hingga birokrasi
pemerintahan. Beberapa menteri, kepala daerah dsb yang sudah kedapatan tangan
mempermainkan uang negara. Ada beberapa bentuk modus yang dipergunakan, seperti
gratifikasi, pencucian uang, dsb. Para pelaku korupsi seharusnya ditindak
secara hukum seberat-beratnya. Dengan itulah maka di zaman kepresidenan Ibu
Megawati didirikanlah sebuah lembaga antikorupsi sebagai bentuk keseriusan
pemerintah dalam memberantas korupsi. Lembaga yang dibentuk tersebut adalah KPK
( Komisi Pemberantasan Korupsi ). Dengan adanya KPK, setiap tindakan korupsi
dapat dipidanakan sebagaimana hukum sudah menetapkan seperti itu.
Namun kini yang menjadi
persoalan ialah, hukuman yang diberikan kepada orang yang berstatus Tahanan KPK
tersebut masih begitu lemah. Sehingga jauh dari tujuan mengefekjerakan pelaku.
Kembali lagi, di masa ini bukti keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi
perlu dipertanyakan. Bersama kita ketahui bahwa bulan agustus lalu ada tahanan
korupsi yang mendapatkan potongan masa hukuman dari kemenkumham. Ini menjadi
sebuah indikasi bahwa pemerintah belum serius memberantas korupsi. KPK sejauh
ini sudah menjalankan tugas dengan baik, sudah berani menelisik dan masuk ke
birokrasi untuk menjegal para pelaku korupsi. Namun ketika sampai di
pengadilan, semua seakan sirna dengan putusan hakim yang begitu ringan.
Kasus yang kini menjadi
pembicaraan di beberapa media adalah ringannya hukuman bagi Ratu Atut. Dengan
hukuman putusan hakim yang menyatakan bahwa Atut dihukum 4 (empat) tahun adalah
bentuk ketidakadilan atas apa yang sudah diperbuatnya. Jika kita bicara tentang
efek jera tentu tidak sampai kepada tujuannya. Jika hanya 4 tahun, itu adalah
hukuman yang sangat ringan, dan memancing pejabat-pejabat lain untuk melakukan
korupsi. Seharusnya hukum perlu berkaca kepada efek jera, jika memang harus
direvisi yang silahkan direvisi. Ini menyangkut rakyat, semua yang dimakan
adalah uang rakyat. Dan apa yang mereka curi memperhambat perkembangan bangsa
Indonesia. Maka dari itu mental pejabat itu perlu ditakut-takuti dengan hukuman
yang menyangkut nyawa. Coba kita pikirkan, bahwa uang yang dikorupsikan
mencapai 4 (empat) triliun misalnya. Sedangkan denda yang di layangkan oleh
hakim hanya sekitar 4 (empat) milyar, ya tentu mereka bisa membayarnya sehingga
terbebas dari dinginnya jeruji besi. Ini yang harus dipikirkan kedepan, jika
hukuman yang diberikan kepada koruptor masih seperti saat ini, saya berani
menjamin bahwa masih akan ada waiting
list corruptor yang akan segera
ditindak.
Lantas solusinya adalah
beri hukuman yang seberat-beratnya. Bukan pemiskinan, karena bisa saja hartanya
dipindahtangankan, atau disembunyikan entah dimana. Tapi Hukuman mati merupakan
satu-satunya opsi yang paling bisa menjerakan. Mana ada orang yang mau mati
karena korupsi. Pasti mereka akan berfikir dua kali dalam memutuskan itu.
Pemisikinan sudah terbukti gagal dan tidak sukses dijalankan. Hukuman mati
sangat merekomendasikan. Permasalahan sekarang adalah DPR, lembaga pembuat
undang-undang yang juga kebanyakan sarang koruptor apakah bersedia membuat
perundang-undangan yang sedemikian rupa. Karena mungkin akan jadi senjata makan
tuan di hari-hari selanjutnya. Peraturan presiden mungkin bisa dibuat, dengan
segala prosedur dan pertimbangan. Untuk melawan korupsi harus dengan hukuman
yang keji. Kita tidak usah bicara tentang HAM dalam penegakan keadailan. Ini
permasalahan uang rakyat, jadi sah-sah saja apabila diberlakukan hukuman mati
dengan cara yang keji bagi para pelaku korupsi. Saya akan sebutkan diantaranya negara-negara
yang sudah memberlakukan hukuman mati bagi tersangka korupsi.
1.
Cina sudah memberlakukan hukuman tembak
mati bagi pelaku korupsi. Pemerintah Cina akan segera mengeksekusi mati bagi
pelaku korupsi apabila terbukti melakukan pelanggaran. Ini jelas adalah bentuk
keseriusan negeri Cina dalam menegakkan keadilan dan hukuman yang
seberat-beratnya. Terbukti pelaku koruptor di Cina turun drastis.
2.
Di Amerika diberlakukan hukuman mati
bagi pelaku korupsi dengan 100 tembakan. Amerika yang dikenal dengan penegakan
hak asasi manusianya seakan tidak perduli akan hal itu demi menekan angka
pertumbuhan korupsi di Amerika.
3.
Pemerintah Arab Saudi akan memenggal
pelaku korupsi. Jika pencuri dipotong tangannya, tetapi untuk pelaku korupsi
dipenggal lehernya.
4.
Pemerintah Malaysia menggantung pelaku
korupsi, mengakibatkan angka korupsi di Malaysia semakin menurun.
Fakta tersebut yang
tentunya dapat menjadi dasar pemerintahan kedepan untuk membuat peraturan yang
memberatkan serta dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sehingga dengan
diberlakukannya hukuman mati bagi para pelaku korupsi, tentu pelakunya akan
terus menurun, dibanding dengan sistem hukum yang sama seperti saat ini. Masih
begitu lemah pemberian hukuman bagi tersangka korupsi yang sudah memakan uang
rakyat yang begitu besar jumlahnya. Seberapapun ia mencuri uang rakyat, yang
namanya pencuri tetaplah harus ditindak. Untuk membangun mentalitas, hukuman
mati adalah salah satu caranya.
Mekanisme
Pembuatan Undang-Undang
DPR merupakan
lembaga legislatif pembuat undang-undang. Tentu seluruh mekanisme pembuatan
undang-undang harus diparipurnakan di DPR. Tetapi tidak semua peraturan harus
melalui DPR. Presiden punya hak priorigatif di dalam membuat suatu peraturan
atau yang sering disebut Perpres ( Peraturan Presiden ). Untuk mengajukannya ke
DPR, untuk urusan perundang-undangan yang menyangkut pada hukuman mati bagi
koruptor tentu sangat sulit untuk menemukan sebuah kesatuan suara. Sudah dapat
dipastikan akan terjadi banyak pro dan kontra antar setiap fraksi di DPR.
Sehingga perundang-undangan yang sedemikian berat dampaknya sangat pragmatis di
DPR. Boleh dikatakan akan menjadi sebuah keputusan yang amat sangat lambat dan
alot pembicaraannya. Maka Perpres ( Peraturan Presiden ) bisa menjadi pilihan
untuk dapat mewujudkan aturan yang sedemikian rupa. Tidak akan ada pihak yang
bisa mencampuri Perpres ( Peraturan Presiden ) yang sudah dikeluarkan presiden.
Pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla kedepan dituntut untuk lebih berani dalam
pemberantasan korupsi. Tidak ada cara lain untuk menjegal korupsi selain
daripada membuat sistem dalam bentuk peraturan perundang-undangan. UU merupakan
sebuah sistem dimana didalamnya terdapat aturan yang harus dipatuhi. Dengan
adanya peraturan yang menjerat dengan ancaman yang sangat berat, tentu
pemberantasan korupsi akan dengan otomatis mengurang dengan adanya sistem yang
sudah didirikan. Permasalahan di Indonesia saat ini adalah belum tegaknya
sistem yang baik dalam penanganan kasus korupsi yang ada di Indonesia. Presiden
yang berani menegakkan sistem, tentu pemerintahannya akan selalu sukses dalam
pemberantasan korupsi. Pemerintahan ibu Megawati sudah mendedikasikan diri
dalam keseriusan memberantas kasus korupsi dengan menciptakan suatu lembaga
yang spesial dalam menangani kasus korupsi. Demikian juga dengan presiden yang
berikutnya, cara-cara baru tetap dinantikan rakyat. Yang baik bisa menjadi acuan,
namun yang buruk silahkan direvisi sehingga tercipta sistem yang baik tersebut.
Dan apabila pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla mampu membuat peraturan yang
berisi hukuman mati bagi tersangka korupsi, itu merupakan prestasi yang sangat
luar biasa dan akan menjadi sebuah catatan sejarah kebanggaan atas keseriusan
dalam memberantas kasus korupsi di Indonesia.
Apakah
Melanggar Hak Asasi Manusia?
Hukum
yang sudah diciptakan di Indonesia saat ini sudah ada yang memberi sanksi ‘hukuman
mati’ bagi tersangkanya. Yakni hukuman bagi pelaku terorisme. Sudah beberapa
orang yang dihukum mati oleh Pemerintah Indonesia. Jadi, perbincangan tentang
pelanggaran hak asasi manusia bukan merupakan sesuatu yang relevan dan
terhubung. Tidak ada sangkut-paut yang bisa dibuat antara hukuman mati dengan
hak asasi manusia, sebab didasarkan atas kesalahan pelaku tersebut. Bukan
menjadi suatu yang tabu lagi bagi Indonesia mendengar kata Hukuman Mati
tersebut. Tidak mengejutkan dan bukan suatu yang mengherankan dan menyeramkan,
justru sebuah kewajaran. Siapa yang bersalah, apapun hukumannya harus siap
menghadapinya. Sebab, semua hukum adalah pranata, sebagai acuan dan pedoman,
sebagai pengawas dan bahan pertimbangan. Dan yang tidak kalah penting adalah untuk
menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Sehingga tidak ada tindakan pengulangan
atas kesalahan yang sudah ia lakukan.
Mohon maaf apabila banyak kesalahan
by : Radian Nugraha Ginting
Mahasiswa Fakultas Ekonomi UNJ