Wednesday, March 28, 2018

Mengubah Footnote Menjadi Bodynote Bukan Pekerjaan Yang Mudah


Tulisan ini bukan sebuah tulisan yang akan mengajarkan anda semua tentang footnote dan bodynote. Tulisan ini dibuat bukan dengan tujuan memberikan anda tutorial mengubah footnote menjadi bodynote. Tulisan ini juga tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelajaran bahasa Indonesia. Jadi jangan salah kaprah terlebih dahulu dengan tulisan ini hehehe. Apa yang saya tulis dalam artikel ini hanyalah sebuah curahan hati yang hendak saya ingin bagikan kepada anda semua.

Apa yang akan saya tulis beberapa paragraf kebawah bercerita tentang ‘zona nyaman’. Loh, kok tidak ada hubungan dengan judul ya? Kenapa judulnya tentang footnote dan bodynote lalu inti sarinya tentang zona nyaman? Sebentar, saya akan menceritakannya terlebih dahulu. Kemarin, saya mendapat jarkoman dari ketua konsentrasi terkait dengan penulisan skripsi. Ada perubahan mendasar yang selama ini menggunakan footnote dalam penulisan referensi resmi diubah menjadi bodynote. Bagi anda semua mungkin ini adalah biasa-biasa saja. Tapi bagi setiap mahasiswa yang sedang dan sudah menulis skripsi menggunakan footnote hal ini tentu menjadi suatu berita buruk. Karna mau tidak mau, suka tidak suka aturan tetaplah harus diikuti. Ketika ada pengumuman seperti itu, mulailah setiap mahasiswa bergumam ini dan itu. Mahasiswa mengeluhkan kebijakan baru tersebut karna sebagian besar diataranya telah menulis skripsi menggunakan footnote. Dan sebagian lagi mengaku tidak mengerti menulis menggunakan bodynote, termasuk saya hehehe.

Kebiasaan saya menulis skripsi menggunakan footnote lantas membuat saya nyaman dengan hal itu. Yang membuat saya nyaman ialah karna saya sudah mengerti dan memahami cara penggunaannya. Seketika muncul suatu aturan baru yang saya belum mengerti cara penggunaannya menarik saya harus keluar dari zona nyaman tersebut. Nah, ini merupakan gagasan inti dari artikel ini. Kondisi yang nyaman memang membuat setiap orang akan sulit berpindah ke hal-hal yang baru. Walaupun sebenarnya hal-hal baru tersebut belum tentu sulit juga, bahkan bisa jadi lebih mudah dari sebelumnya. Tapi, untuk menerima hal-hal baru itu butuh waktu dan proses yang tidak pendek. Yang saya ingin sampaikan dalam tulisan ini, keluar dari zona nyaman kita memang membuat setiap orang akan canggung kembali apabila diperhadapkan kepada hal-hal yang baru. Karna hal-hal baru tersebut belum dipahami dengan benar oleh orang tersebut. Tetapi, setiap makhluk hidup seperti manusia memiliki kemampuan adaptasi akan hal-hal baru. Walaupun kemampuan adaptasi ini pada setiap orang berbeda cepat dan lambatnya. Cara ampuh untuk beradaptasi yang baik ialah tetaplah bertahan pada situasi tersebut dan pelajari dengan sebaik-baiknya kondisi baru tersebut. Cepat atau lambat kita akan mulai terbiasa dengan hal baru tersebut. Salah satu trik jitu lagi yaitu terima kenyataan. Move On! Sama saja seperti kisah percintaan yang sudah membuat seseorang nyaman. Bukan perkara mudah untuk dihadapi apabila diperhadapkan pada cerita perpisahan. Tetapi dengan menerima kenyataan yang ada itu akan banyak membantu untuk lepas dari perasaan itu.

Sejatinya setiap manusia memang harus pandai beradaptasi, karna kondisi sekelilingnya akan selalu berubah. Mahluk hidup yang tidak dapat beradaptasi dengan baik maka ia tidak akan dapat bertahan hidup. Jadi, untuk semua mahasiswa yang sedang galau atau bingung dengan perubahan ini. Yuk, bersama-sama kita belajar hal baru ini. Ingat untuk dapat terbiasa dengan hal baru kita harus bertahan dalam hal tersebut dan pelajari dengan baik. Ini bukan suatu kemustahilan tetapi ini adalah sebuah keniscayaan. Stop arguing, just do it!

Sekian artikel ini, mohon maaf jika dirasa terlalu dilebih-lebihkan. Saya menulis ini karna seketika terlintas dalam pikiran saya. Artikel ini hanyalah suatu ungkapan perasaan dan pikiran yang saya tuangkan dalam sebuah tulisan. Terima kasih...

Cipinang, 29 Maret 2018

Tuesday, March 6, 2018

Salahkah Sebuah Negara Berutang?


Belakangan ini banyak yang membicarakan besarnya utang indonesia yang mencapai Rp.4.636,555 triliun atau 347,3 miliar dollar AS dalam kurs Rp.13.350 per dollar AS (Harian online Kompas 16 Januari 2018). Utang yang sedemikian besar ini dianggap sebagian masyarakat sebagai sebuah kegagalan pemerintah mengoptimalkan sumber daya. Isu ini pun semakin berkembang ketika Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mendapatkan penghargaan sebagai Menteri Terbaik Dunia/Best Minister in The World dalam forum World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab. Banyak yang tidak menyangka mengapa penghargaan tersebut diberikan kepada seorang Menteri Keuangan RI di tengah menggunungnya hutang pemerintah. Dalam artikel singkat ini saya akan memaparkan apa yang saya ketahui tentang isu ini.

Negara dalam sudut pandang ilmu ekonomi memiliki kesamaan dengan sebuah perusahaan. Dimana sebuah perusahaan harus mengelola aset yang ia miliki untuk menghasilkan pendapatan demi kesejahteraan dan kemakmurannya. Hal yang sama berlaku bagi sebuah negara. Sesuatu yang lumrah pula apabila sebuah perusahaan berhutang kepada pihak lain untuk dapat lebih mengembangkan kegiatan usahanya. Hal yang sama juga berlaku bagi sebuah negara. Terdapat dua motif berutang. Yang pertama utang konsumtif. Yaitu utang yang digunakan untuk tujuan konsumsi atau memenuhi kebutuhan. Yang kedua utang produktif. Yaitu utang yang digunakan untuk tujuan produksi/menciptakan keuntungan. Intinya berhutang tidak ada masalahnya apabila manfaat secara ekonomi masih dapat dimaksimalkan.

Menurut saya utang Indonesia masih dalam kategori wajar. Rasio utang Indonesia terhadap PDB menurut Sri Mulyani dalam harian online Antara News berkisar 29,2%. Mengapa masih dalam kategori wajar? Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia dan dunia rasio utang Indonesia masih masuk ke dalam kategori yang rendah. Jepang salah satu negara maju mempunyai rasio utang lebih dari 200% dari PDBnya. Singapura negara tetangga di kawasan ASEAN memiliki rasio utang lebih dari 100%. Oleh sebab itu rasio utang yang besar tidak dapat menjadi indikator kegagalan bagi suatu negara di dalam mengelola ekonominya. Apalagi Indonesia memiliki tingkat rasio yang jauh lebih rendah dibandingkan negara tersebut.

Logika pikir saya sederhana. Memiliki utang bukanlah sebuah dosa besar bagi sebuah negara. Karena utang sama sekali tidak memiliki citra negatif semasih hutang tersebut dapat dilunasi sesuai dengan jatuh tempo dan lancar dalam hal pembayarannya. Hal ini sama saja dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Sebagai contoh, pelaku usaha berhutang untuk kemajuan usaha yang didirikannya. Secara langsung usaha tersebut akan berkembang dan menghasilkan keuntungan sehingga utang tersebut dapat diselesaikan dengan baik. Begitupun sebuah negara. Memiliki utang tidak menjadi masalah selagi utang tersebut dipergunakan dalam bidang-bidang yang menguntungkan dan tentunya menyejahterakan rakyat.

Lalu, apakah rasio hutang yang hampir mencapai 30% itu tidak beresiko bagi Indonesia?
Utang tentu memiliki resiko. Namun, besaran resiko tentu sesuai dengan besaran utangnya. Resiko utang 10 juta tentu berbeda dengan resiko utang 1 juta. Seperti yang sudah saya paparkan diatas rasio hutang Indonesia masih tergolong sangat rendah. Tentu resiko hutangnya pun rendah. Rasio utang Indonesia 29,2% itu berarti apabila PDB Indonesia Rp.10.000.000 maka utangnya hanya Rp.2.920.000. Dapat dibayangkan dengan akal sehat maka jumlah tersebut masih dalam kategori wajar dan aman.

Apakah dengan rasio hutang hampir 30% tidak mengubah iklim investasi menjadi buruk?
Tentu saja tidak. Secara sederhana dapat digambarkan seperti seseorang yang hendak berutang dalam membeli rumah dan sebagainya. Apabila pembayaran dilakukan secara lancar dan tidak ada tunggakan yang terjadi tentu pihak pemberi utang akan percaya. Inilah yang disebut dengan trust. Bahkan dengan kepercayaan tersebut pemberi utang masih menawarkan pinjaman yang lebih besar dari sebelumnya apabila dirasa masih sesuai dengan kemampuannya. Begitupun dengan Indonesia, seberapa besar pun utang Indonesia tentu tidak menjadi masalah apabila utang tersebut masih dapat ditangani dengan baik. Tentu ini akan menjadi daya tarik sendiri bagi investor yang menganggap bahwa Indonesia merupakan sebuah negara yang dapat dipercaya sebagai tempat investasi. Dengan demikian rasio hutang tidak ada hubungannya dengan iklim investasi di suatu negara. Dengan syarat utang tersebut masih dapat dipertanggungjawabkan dan diatasi dengan baik.

Di akhir artikel ini saya ingin menekankan bahwa utang yang besar bukan menjadi indikator kegagalan ekonomi suatu negara. Selagi utang tersebut dapat dimanfaat semaksimal mungkin secara ekonomi maka tidak ada yang perlu diperdebatkan. Tentu jika hal ini terjadi, pertumbuhan ekonomi akan terus meningkat.